Pekerja rentan dan sektor informal adalah kelompok yang paling rentan terhadap guncangan ekonomi mendadak—mulai dari krisis kesehatan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Sementara program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pemerintah memiliki keterbatasan cakupan dan birokrasi, Zakat sejatinya adalah instrumen JPS berbasis keagamaan yang paling ideal dan fleksibel. Namun, untuk mencapai efektivitas tersebut, dibutuhkan lebih dari sekadar semangat beramal. Pengelola zakat harus menguasai Fiqh Zakat secara mendalam, terutama dalam menginterpretasikan kategori asnaf (penerima) fakir dan miskin agar dapat menyalurkan dana secara produktif—bukan sekadar memberi ikan, tetapi memberi modal, pelatihan, dan bahkan membayar iuran jaminan sosial bagi para pekerja rentan. Inilah kunci transformatif agar zakat benar-benar menjadi pilar pertahanan ekonomi umat.
Setiap tahun, potensi zakat di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah, sebuah angka fantastis yang dapat menjadi motor penggerak pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Namun, realisasi dan dampaknya di lapangan seringkali belum mencerminkan besarnya potensi tersebut. Zakat, jika dikelola dengan benar, akan dapat berfungsi sebagai JPS berbasis keagamaan yang ideal untuk menutup celah (gap) yang tidak terjangkau oleh program JPS formal pemerintah.
Program JPS formal (seperti BPJS Ketenagakerjaan atau Kartu Prakerja) seringkali memiliki kriteria yang kaku dan hanya menyasar kelompok tertentu. Sementara itu, Fiqh Zakat, melalui kategorisasi Asnaf (penerima zakat) yakni fakir dan miskin, memungkinkan definisi yang lebih luas dan fleksibel. Pekerja rentan dalam konteks fiqh, (misalnya, pedagang mikro, pekerja harian lepas, buruh tani non-permanen) sangat mudah dikategorikan sebagai Miskin atau Fakir karena pendapatan mereka tidak mencukupi kebutuhan dasar (al-kifāyah) secara konsisten. Pemahaman Fiqh Zakat yang baik (Fiqh Kontemporer) memungkinkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk merumuskan program bantuan yang adaptif, tidak hanya sekadar memberikan uang tunai, tetapi juga modal usaha produktif (untuk memutus rantai kerentanan), yang sesuai dengan tujuan zakat (merubah mustahik menjadi muzakki).
JPS formal pemerintah juga memiliki proses birokrasi yang panjang. Zakat, dengan sifatnya yang dapat disalurkan secara langsung dan cepat, berfungsi sebagai lapisan pertahanan pertama bagi pekerja rentan yang mendadak kehilangan pendapatan (misalnya akibat bencana alam, sakit, atau PHK mendadak). Fiqh Zakat membolehkan pendistribusian cepat kepada Asnaf yang sangat membutuhkan. Penguasaan fiqh yang baik memastikan bahwa penyaluran cepat ini tetap sah dan tepat sasaran, tanpa melanggar prinsip syariah.
Fiqh kontemporer mendukung penggunaan dana zakat dapat disalurkan dalam bentuk modal bergulir (misalnya melalui skema Qardhul Hasan), alat kerja, atau pelatihan keterampilan bagi pekerja rentan agar mereka mampu mandiri secara ekonomi. Ini adalah poin kunci yang membedakan zakat dari JPS tradisional. Zakat tidak hanya memberikan konsumsi (bantuan tunai), tetapi juga memberikan peluang usaha.
Melalui kajian fiqh oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), disepakati bahwa iuran BPJS Ketenagakerjaan (khusus untuk JKK dan JKM) bagi pekerja rentan (seperti tukang ojek, guru ngaji, pedagang kecil, buruh harian) dapat dibayarkan menggunakan dana Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS). Hal ini tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 102 Tahun 2025 tentang Hukum Pendistribusiaan ZIS dalam Bentuk Iuran Kepesertaan Jaminan Ketegakerjaan. Pekerja rentan ini dikategorikan sebagai Asnaf Fakir/Miskin yang sedang kesulitan mendapatkan perlindungan. Program ini secara langsung menyediakan Jaring Pengaman Sosial yang cepat dan legal bagi jutaan pekerja informal. Zakat berfungsi sebagai subsidi penuh untuk menjamin mereka tetap terlindungi saat terjadi risiko kerja, menambal celah yang tidak bisa dicapai oleh mekanisme JPS formal APBN/APBD.
Menurut ulama seperti Imam Yusuf Al-Qardhawi, tujuan utama zakat bukan hanya memberi makan, tetapi memberantas kemiskinan secara sistematis dan mengangkat harkat martabat umat. Memberikan modal yang menghasilkan penghasilan tetap lebih utama daripada memberi bantuan konsumsi yang hanya bertahan beberapa hari. Prinsip utamasyariat diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan). Zakat Produktif adalah instrumen yang paling efektif untuk mencapai maslahat terbesar dan berkelanjutan, yaitu kemandirian ekonomi umat. Singkatnya, Zakat onsumtif adalah solusi darurat dan pasti, sementara Zakat Produktif adalah solusi strategis dan berkelanjutan untuk mengangkat martabat fakir miskin. Keduanya diperlukan dan harus disalurkan sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing mustahiq.
Program Kampung Zakat yang diinisiasi oleh Kementerian Agama dan BAZNAS dapat menjadi contoh bagaimana zakat dikelola secara produktif untuk menjangkau sektor pekerja rentan sektor informal seperti petani, peternak skala kecil, pengrajin rumahan, di daerah terpencil atau pinggiran kota. Zakat disalurkan dalam bentuk modal usaha bergulir (seperti skema al-Qardh al-Hasan atau pinjaman tanpa bunga) untuk memulai atau mengembangkan usaha. Penerima zakat (Mustahik) diberikan pelatihan keterampilan, manajemen usaha, hingga pemasaran digital. Program ini menekankan pendayagunaan dana zakat, bukan hanya pendistribusian konsumtif.
Efektivitas dari implementasi program zakat produktif tentu juga harus dievaluasi secara komprehensif. Salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai hal ini dengan menggunakan model CIBEST (Center of Islamic Business and Economic Studies). Model CIBEST adalah kerangka pengukuran kesejahteraan yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip Islam, yang bertujuan untuk memberikan penilaian yang lebih holistik dibandingkan dengan pengukuran kemiskinan dan kesejahteraan konvensional yang hanya berfokus pada aspek material (misalnya, garis kemiskinan berbasis konsumsi). Bagi lembaga pengelola zakat, CIBEST memberikan alat evaluasi yang kuat. Pertama, lembaga dapat mengidentifikasi secara spesifik jenis kemiskinan yang dihadapi Mustahik (apakah mereka miskin uang/material saja, atau juga miskin spiritual). Kedua, Program yang dirancang tidak hanya berfokus pada pemberian modal, tetapi juga disertai pembinaan keagamaan, seperti pelatihan kewirausahaan yang disisipi kajian fikih muamalah. Ketiga, keberhasilan program zakat diukur bukan hanya dari kenaikan pendapatan Mustahik, tetapi juga dari perubahan perilaku ibadah dan sosial mereka. Dengan Model CIBEST, program Zakat untuk pekerja rentan tidak hanya berfungsi sebagai jaring pengaman sosial ekonomi, tetapi juga sebagai penguat iman dan akhlak, yang sangat sesuai dengan filosofi Zakat dalam Fiqh.
Jika seluruh potensi zakat (yang mencapai ratusan triliun) dapat direalisasikan melalui edukasi Fiqh Zakat yang masif (sehingga masyarakat patuh dan optimal dalam berzakat), maka zakat dapat menjadi skema jaminan sosial komplementer yang sangat besar, menjangkau jutaan pekerja rentan yang mungkin tidak tercakup dalam skema formal.
Optimalisasi ini akan secara langsung memperkuat Jaring Pengaman Sosial di Indonesia, khususnya untuk pekerja rentan, dengan menyediakan bantuan yang lebih fleksibel, produktif, dan berbasis kebutuhan riil.
Fuat Mulyanto
Mahasiswa Prodi Manajemen Zakat & Wakaf
Fakultas Agama Islam | Univ. Muhammadiyah Jakarta



Leave a Reply